Minggu, 10 Februari 2019

Surat Terbuka Guru Ngaji Kepada KH Ma'aruf Amin yang Menganggap Warga Minang Buta Al-Quran

surat terbuka guru ngaji kepada KH maaruf amin

Kiyai Ma'ruf mendapat dukungan dari segelintir perantau minang yang bengkok di Jakarta. Dalam acara silaturrahminya di salah satu rumah makan padang cawapres 01 ini akan menjajnjikan bahwa kalau ia terpilih KMA berjanji tidak akan ada lagi buta Al-Quran di Minangkabau. Perkataan KMA ini sontak membuat heboh dan menjadi viral karena dari kalimat yang ia ucapkan mengandung makna bahwa selama ini masyarakat Minag buta Al-Quran dan tak paham akan isinya.

Karena ucapan yang asal jadi ini salah seorang guru ngaji di Sumbar membuat surat terbuka yang ditujukan kepada KH. Ma'ruf Amin sebagai balasan dari ungkapannya yang dianggap menghina dan meremahkan masyarakat minagkabau.

SURAT TERBUKA GURU NGAJI MINANG UNTUK PAK AMIN
Oleh: (M. Zaldi Abdurrahman S.Ag, seeorang guru ngaji, Kab Agam)

Sudah ribut besar Ranah Minang, karena pernyataan cawapres pak Kiyai Ma'ruf yang offside deskripsikan orang minang banyak yang buta baca AlQur'an. Secepat kilat sudah jadi kabar dan perbincangan tak sedap di mana-mana, orang serantau pun meradang, mereka teriak, apa-apaan ini??

Akui saja, rintisan kampanye pak Kiyai yang agak berani ke kandang Harimau Tauhid Sumatera awal bulan ini sudah berujung petaka elektabilitas kubu-01 makin turun ke stadium yang lebih mengerikan di Sumbar, sudah tak tertolong lagi jika meminjam kalimat dokter. Kembali, selain faktor sudah dari awal orang minang tak percaya semua janji rejim, juga beriringan dengan sesatnya olahan lidah pak kiyai itu.

Pak kiyai mungkin tak mengerti apa-apa, atau memang telah diberi informasi menyesatkan orang di sekeliling anda sebelum angkat bicara. Sehingga Pak Kiyai dibuat bingung atau tak faham bahwa orang minang itu dari dulu sangat taat pada ajaran Islam, tatacara hidup dan adat yang tak sesuai Qur'an dan Hadist bukanlah adat bagi orang minang, falsafah kami ABSSBK (Adat Basandi Syarak, Sayarak Basandi Kitabullah), kemampuan baca AlQur'an dan maknanya adalah semacam passport untuk hidup kami di dunia dan akhirat.

Bukan niat tinggi hati, Ulama-ulama besar sudah lahir di bumi Minangkabau dari sejak pertama cahaya islam mencerahkan negri ini, Qur'an sudah diajarkan dari balita, kemampuan menjadi Imam Masjidil Haram adalah benchmark atau ukuran orang minang. Dulu kami punya Syaikh Burhanuddin Ulakan, Syaikh Jamil Jambek, Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Buya Hamka, dan sekarang kami punya Buya Gusrizal, mereka sama lembutya ke ummat tapi jangan kaget mereka juga sama kerasnya ke pengkhianat dan kaum munafik..

Ketahuilah Pak Kiyai, mungkin kemarin anda telah diberi info sesat oleh kaum sesat pula, kita tahu di kubu anda itu juga ada segelintir orang minang, atau minimal ngaku-ngaku minang menjamu pak kiyai dengan rendang, tapi bagi kami dalam situasi yang terang benderang telah jadi perjuangan nahi munkar ini, mereka sudah dicap masuk ke faksi minang coret, alias tak diaku lagi, karena bagi Orang Minang pantang sekubu dengan penghina Agama dan Ulama, pantang sekubu dengan sekuler, liberal, eljibiti, pecandu maksiat, pemabuk, para munafikun, gila kuasa dan pelaku curang yang anggap agama bukan hal penting selain untuk raup suara..

Dalam konteks bernegara kami orang minang kamilah yang kalau boleh klaim-klaiman suku paling nasionalis, Pak Kiyai bacalah buku sejarah pejuangan bangsa kita, mulai dari era perang melawan penjajah, zaman pergerakan kemerdekaan sampai diplomasi mendapat kedaulatan kembali telah betebaran putra-putra terbaik minangkabau. Itu kenapa juga pantang pula kami sekubu dengan orang-orang yang tak punya semangat bahwa kepentingan rakyat adalah hal paling utama, pantang ikut dengan yang jadikan propaganda seribu dusta sebagai alat mencapai kekuasaan, atau dengan itu makin vulgar membuat kerusakan sistem bernegara atau tak berlaku adil dalam hukum.

Guru-guru kami juga para Ulama lurus yang tak tamak dunia dan kedudukan, mereka Ulama dari Jawa, Bugis, Aceh, Melayu, Betawi, Banten sendiri dll.. Habieb Riziek itu tanpa maksud hiperbolik ibarat Tuanku Imam Bonjol abad ini bagi kami, Icon perlawanan pada kesewenangan yang begitu lama dirindukan.

Kami orang minang berjuang mungkin tak akan lagi tumpahkan darah karena jaman sudah berubah. Tapi dalam darah kami yang turun dari tetua kami tetap mengalir semangat atau ghirah tinggi untuk kebaikan agama dan bangsa yang kami cintai tanpa slogan-slogan palsu mirip teman-teman Pak Kiyai itu, bagi kami segala kekeliruan dan kemungkaran jangan terlalu lama dibiarkan, kalau jalannya harus ganti pemimpin dan orang-orang yang mengatur negara ini lewat jalur demokrasi, baiklah kita lalui secara demokrasi, tentu dengan azas kejujuran dan terbuka sebagai syarat mutlak.

Bagi orang Minang, lawan jangan dicari-cari, penyakit janganlah dibuat-buat, tapi kalau bertemu pantang pula menyerah atau menghindar, mari kita lihat perobahan apa ke depan untuk bangsa ini dengan andil orang minang dan semua suku di negri ini bahu membahu ikut berjuang melahirkan pemimpin baru negri tercinta Indonesia ini..

Pak Kiyai sudah salah masuk jika ingin berusaha mengambil hati kami dan itu kesalahan fatal, luka karena pisau bisa diobati, luka karena lidah entah kemana obat bisa dicari.

Selamat bercengkrama dengan minang coret yang kemungkinan tak bisa mengaji atau maaf tak mengerti lagi makna ajaran Islam. Sama-sama tak tahu apa itu kata Munafik, apa itu kata Fasik dan kedua golongan itu pasti akan sangat nyaman bersekutu demi nafsu duniawi yang menggebu.


Jadilah peran dalam suatu perjuangan umat dan jangan hanya jadi penonton, sungguh rugi diakhirnya nanti.