Rabu, 20 Februari 2019

Makna Ilmu Pengetahuan dalam Kitab Sufi Al Mawaqif wal Mukhotobat

BUKU 6

makna ilmu pengetahuan dalam kitab sufi

 8. ILMU  PENGETAHUAN

ILMU adalah merupakan satu upaya untuk mencapai sesuatu yang terdiri dari bagian-bagian dalam ulah lingkungannya, dan penempuhannya diperlukan adanya gerak dan perjalanan disertai tata tertib dan peraturan-peraturannya yang tertentu yang ada padanya; Yaitu ilmu pengetahuan yang membahas tentang ketentuan-ketentuan.
  • Bilmaqadir = tentang kadar banyaknya.
  • Alkammiyat = dan tentang hubungan-hubungannya
  • Al ‘ilaqat = Akan tetapi ilmu itu agak lemah terutama untuk mencapai teka-teki yang memerlukan pemecahan, “Apakah ini dan apakah itu (Almahiyat), dan pula untuk mencapai hakikat-hakikat yang ada taraf kesudahannya. Dan ilmu itu dalam persoalan ini kedudukannya tidak lebih dari alat yang kurang mempunyai kesempurnaan yang malahan kadang-kadang menyesatkan.

Al Imam An Nafri berkata :
“Ilmu itu sendiri merupakan tirai penutup atas apa yang sudah menjadikan pengetahuannya; yang seyogyanya tidak demikian halnya.
Seorang yang banyak berilmu (“Ulama) terdinding oleh kesadarannya sendiri, sama halnya dengan si dungu terdinding oleh kelengahannya. Sungguh pun begitu ilmu itu mencerai-beraikan  akal si alim, disebabkan karena ilmu itu terpetak-petak dalam beberapa bidang dan arah tujuan pemikiran”.

Ilmu itu sendiri memiliki jalan-jalan dan saluran-saluran, lalu sampai kepada cabang-cabang. Tiap-tiap cabang mempunyai jalan keluar sendiri-sendiri, sampai di sini tidak dapat dielakkan lagi akan terjadinya perselisihan, dan dari perselisihan menjurus ke arah kesesatan.

Akal, setelah mengetahui kesemuanya itu, lalu mengadakan penyaringan di antara pelbagai macam kemungkinan-kemungkinan, maka terperosoklah ia ke dalam aneka ragam kesimpang-siuran.”.

Dan Allah dalam seruan-Nya menyampaikan :
“Seorang yang berilmu masih dalam ikatan serba dua “Menyaksikan dan disaksikan”, begitu pula halnya seorang pengenal (Arifin) ... yang tidak... dan yang lain halnya... adalah seorang Waqif di Hadirat Ku (orang yang berdiri tegak di tempat penghentian pencapaian), ia adalah tunggal... karena dia telah sirna (fana) meniadakan ke serba-duaan lagi, menyadari dan kembali pada pribadinya sendiri dalam kesederhanaan dan kesatuannya (ringan lunglai terlepas dari daya tarik apappun dan senyawa-menyatu)”.

“Maka seharusnya puncak dari ilmu, akal dan pikiran itu mengembalikan pada kedudukan asalnya dari segi bagian-bagian dan kenyataan-kenyataan kepada Yang “SATU” ialah Allah Maha Penciptanya. Dari sini bertolak ke arah pengenalan (Makrifah) baru dapat disebut orang arif. Tetapi pandang pengenalan seorang sufi jauh dari kesemuanya ini, lebih tinggi menjulang dan tidak menilai ilmu, karena pengenalannya kepada Allah semata-mata, makrifat yang tunggal, mengenal ke Esaan-Nya, dalam sifat-sifat-Nya, Asma-Nya, Af-al-Nya, Taqdis-Nya dan ke Maha Sucian-Nya”.

Selanjutnya Allah berseru :
Hai hamba yang berilmu! “Bilamana ilmumu dapat melepaskan engkau dari ilmu mu, maka engkau akan tiba pada perjalanan pengenalan (Makrifat), tetapi kalau engkau menyatu dengan ilmu mu, maka ilmu itu akan menjadi penghijab bagimu; Dudukkan ilmu itu pada tempat yang seyogyanya menjadi penghantar ke arah makrifat dan bukan engkau yang menyatu dengan ilmu mu”.

“Setelah engkau tiba di ambang pintu makrifat, dan memasukinya, maka engkau akan terheran-heran dan menginsafi kebodohanmu di hadapan Zat Illahiat dan inti mula pertamanya.

(Kunhiha) serta apa sebenarnya DIA (Manhiat) terungkaplah di sini lunglainya pencapaian, itulah pencapaian dan kedunguan adalah puncak makrifat, maka terhujamlah dalam sanubarimu akan arti sebenarnya dari “ Tiada satupun yang menyamai-Nya”.

Seorang sufi mewejang : “Kebodohan, kedunguan adalah tirai penutup yang asli dan tak mungkin tersingkap tentang Zat Ilahiat, kecuali pada Hari Kebangkitan (Kiamat) kala seorang hamba dikehendaki-Nya untuk memandang dengan pandangan mata.

Adapun sebelum itu maka tiadalah mungkin melihat Allah dengan terang-terangan, dan apa yang dialami seorang abid ialah menyaksikan Allah pada sesuatu yang di dalamnya terdapat bekas dari tangan pembuatnya, ayat-ayat-Nya, hikmah-Nya, tadbir-Nya (yang diuraikan-Nya). Dan itu merupakan penglihatan akal serta matahati atau melihat Nur-Nya.
Adapun Zat, akan tetap tinggal terselubung oleh selimut gaib yang mutlak.

Dan di kala seorang abid mencapai puncak makrifat, maka ia menyadari akan kebodohannya di hadapan Zat itu; Dan menyadari pula akan kelemahan semua usaha-usaha dan cara-cara yang selama ini diandalkan; ia akan memulai perjalanannya kepada Allah dengan menempuh penyaksian. Maka akan keluarlah ia dari alam nyata selain Allah. Keluar dari ilmunya, amalnya, makrifatnya, sifatnya, namanya dan juga keluar huruf dan ibarat, dan apa saja yang diibaratkan oleh huruf dan oleh ucapan ibarat.

Dengan pelepasan, penanggalan segalanya itu tadi adalah pintu untuk mencapai “Penglihatan” serta jalan masuk menuju “Hadirat-Nya” dan penghentian jalan terakhir dari “penyaksian” maka ia masuk didorong oleh kekuatan cahaya yang menetap (tidak membiarkan dan tidak meninggalkan).

Yang demikian adalah, apa yang diuraikan dalam gambaran seorang sufi “Penglihatan hati (Ru’yah Qolbiah) terhadap Zat yang tertutup terselubung dan terhijab dengan Nur demi Nur-Nya; dan itu merupakan permulaan disertai kenyataan yang dikawani oleh poros tempat persembunyian segala sesuatu dan (dikawani) pula oleh keadaan dari kelenyapan yang sepenuh-penuhnya... tiada sesuatu... selain Nur itu.

Ketahuilah bahwa Nur itu bukanlah Zat, tetapi hanyalah suatu ayat (tanda bukti) dari sekian banyaknya tanda-tanda bukti, dan juga sebagai hijab dari sekian banyaknya hijab-hijab dan juga isim dari berbagai Asma-Nya (nama-nama-Nya) dan Asma adalah hijab atas yang bernama dan yang dinamai.

Dan ini bukanlah penyaksian pandangan mata. Dalam hal ini penyaksian pandangan mata tidak mungkin sama sekali selagi di dunia ini, dan tidaklah bagi insan yang memiliki bentuk jasad insani. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan dari apa yang terjadi, dan apa yang dialami Nabi Musa As. Yang tidak memiliki daya kemampuan memandang, hingga jatuh pingsan; dan bukit yang dijadikan contoh tidak pula memiliki kemampuan tersebut hingga hancur lumat berbutir-butir,

Di dalam Al Qur’an surat Al A’raf 7:143 :
“Dan tatkala Musa datang di tempat yang telah ditentukan, dan Tuhannya berkata-kata dengannya, lalu berkatalah Musa :”Wahai Tuhanku! Perlihatkanlah diri-Mu padaku supaya aku dapat memandang-Mu”. Ia pun berfirman : “Tidak sekali-kali engkau dapat melihatk-Ku, tetapi pandanglah ke bukit itu; jika ia dapat tetap di tempatnya, maka engkau akan melihat pada-Ku”, Maka tatkala Allah “memperlihatkan diri” kepada bukit tadi, bukit itupun hancur luluh menjadi lumat dan jatuhlah Musa dalam keadaan tak sadar diri. Maka tatkala sadar, berkatalah Musa “Maha Suci Engkau! Aku taubat kepada-Mu, dan aku adalah orang pertama yang beriman kepada Mu”.

Perhatikan! Musa tidak jatuh pingsan karena melihat Zat Ilahy, tetapi ia baru melihat tajallinya Zat atas sesuatu yang lain, yakni bukit itu, baru tajalli-Ny saja, dapatkah engkau membayangkan betapa mungkin terjadi jika sekiranya Musa melihat Zat-Nya.

Dalam ilmu penegtahuan insani terdapat segi tantangan, karenanya setiap sesuatu tujuan pemikiran diiringi oleh pemikiran akal yang menguraikan kebalikannya. Demikian juga kejahilan insani, yang di dalam kejahilannya terdapat tantangan (dari kebalikannya). Tidak demikian halnya dengan ilmu pengetahuan Rabbani (Ilahy) yang Ladunni (Ilmu yang didapat langsung dari Alloh), maka ilmu yang demikian, begitu juga kebodohan yang berupa “pengetahuan ketidaktahuan”, maka ia adalah suatu kejahilan yang asli, yang tiada tantangan kebalikannya, karena kejahilan terhadap Zat Ilahiat adalah merupakan sampainya kepada hakikat yang terakhir, yang berkesudahan (nihaiyah), justru Allah itu Yang Maha Suci (Majhul al-Hawiyah) yang tak dapat diketahui karena tiada siapapun yang menyerupai-Nya (Dan itulah sifat Zatiyah).

Allah berseru kepada hamba-Nya :
“Keluarlah engkau dari ilmumu yang kebalikannya adalah kejahilan, keluarlah engkau dari makrifat yang kebalikannya adalah pengingkaran... niscaya engkau akan jinak terhadap apa yang engkau ketahui, Ilmu itu berseteru dengan kejahilan, dan kejahilan itu adalah huruf... kejahilan itu menjadi seteru ilmu dalam kejahilannya terdapat huruf”.

Keluarlah engkau dari huruf, niscaya engkau mengetahui ilmu yang tiada seterunya, yaitu Ilmu Rabbani (jika engkau sudah sampai ke taraf ilmu ini), maka engkau akan menjahili suatu kejahilan yang tiada lagi berseteru dengan kejahilan yang berupa pengetahuan. (Al Jahlul Irfani)”.

“Jika engkau telah mengetahui suatu ilmu yang tiada seteru, dan jika engkau menjahili kejahilan yang tiada bersetru pula, maka engkau bukan lagi tergolong dari penduduk bumi dan langit”.

“Jika engkau sudah bukan lagi menjadi penduduk bumi, maka Aku tidak akan membebani engkau pekerjaan ahli bumi; Juga kalau engkau tidak lagi menjadi peduduk langit, maka Akupun tidak lagi membebani engkau menjadi pekerja ahli langit”.

Pekerjaan-pekerjaan ahi bumi adalah keserakahan dan kerakusan, kelengahan dan menghambakan diri pada hawa nafsu dan kepada semua yang nampak di permukaan bumi ini, yang saling kejar mengejar memperebutkan aneka perhiasan. Sedangkan pekerjaan ahli langit adalah Zikir dan ta’dziem (membesarkan Nama Tuhan) dan itulah penghambaan ahli langit terhadap Tuhan, dan itulah yang menjadikan mereka jinak dengan ketenangan kepada Allah.

Dan penghambaan itu merupakan hijab yang terdekat, yang mana Aku dari balik-Nya berhijab pula dengan sifat keperkasaan; dan kelengahan itu pun suatu hijab yang jauh, yang mana Aku dari baliknya berhijab dengan semua dan apa-apa yang telah Ku ciptakan dari segala sesuatu saling pengaruh-mempengaruhi.

Jadilah peran dalam suatu perjuangan umat dan jangan hanya jadi penonton, sungguh rugi diakhirnya nanti.