Kamis, 03 November 2022

Dua Sudut Pandang Memahami Keberadaan Tuhan, Jauh atau Dekat?

JAUH TAK BERJARAK DEKAT TAK BERSATU

JAUH TIDAK BERPERANTARA, DEKAT TIDAK BERSATU.
Kontraversi tentang keberadaan Allah SWT sudah terjadi ratusan tahun yang lalu, bahkan menjadi sebuah perbedaan dan tembok pemisah dalam komunitas global muslim dunia.

Padahal, jika mau mengendurkan sedikit "Ego keilmuan" kita, maka dengan jelas kita menyimpulkan, bahwasanya di dalam Al Qur'an yang Allah SWT turunkan terdapat dua sudut pandang cara memahami keberadaan Tuhan.

Pertama, cara pandang keberadaan Tuhan dengan memakai Akal, yakni dengan berlandaskan ayat الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
“(Yaitu) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” [Thaahaa: 5]

Pemahaman Allah SWT berada diatas ArsyNya dikuatkan lagi dengan peristiwa ketika salah seorang sahabat membawa seorang budak perempuannya dihadapan Baginda Rasulullah SAW, saat ditanya " Dimana Allah" dan budak tersebut menjawab " Di langit " maka ketika itu Rasulullah SAW menjamin keislaman budak perempuan tsb.

Ayat Thaaha : 5, dan peristiwa pertemuan Baginda Rasulullah dengan seorang budak, merupakan bentuk memahami keberadaan Allah SWT dengan memakai Akal. Dan pemahami seperti itu dibenarkan selagi tidak terjerumus dengan penyerupaan Allah SWT dengan makhlukNya, seperti menyamakan wujud Allah SWT dengan bagian tubuh atau wujud makhlukNya. Karena keterbatasan akal, maka cukuplah meyakini saja dan jangan sampai difikirkan apalagi dibayangkan bagaimana keberadaan Allah SWT duduk diatas ArasyNya, inilah sunnahtullah pemahaman yang Allah letakan kepada Akal manusia.

Pemahaman kedua, cara pandang keberadaan Allah SWT dengan Hati. Berdasarkan ayat " Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.’ Surah Qaf ayat 16.

Dengan memahami ayat diatas, Allah SWT sendiri menyatakan keberadaanNya yang begitu intim dengan hambaNya, bahkan lebih dekat daripada urat leher. Namun, sampai disini akal tidak lagi mampu mengurai arti kalimat " lebih dekat dari urat leher", sebab tidak satupun alat ukur yang dapat menghitung jarak yang begitu dekat. Maka disinilah peranan hati berfungsi untuk mencerna bahasa Tuhan, yang tentunya hanya dapat diterjemaahkan oleh rasa pada hati.

Kemampuan hati untuk menterjemaah bahasa Tuhan akan muncul ketika hati selalu dibersihkan dengan selalu berdzikir dan mengingatNya sebanyak banyaknya. Hanya dengan mengingatNya hati akan menjadi tenang, dan tenang hati bertanda hati mulai bersih, sedangkan hati yang telah bersih akan memiliki "Energi" dan mudah memahami arti kedekatanNya dengan menyelam lebih dalam ke Nuraninya. Dan disanalah seorang hamba akan paham arti dari kata " lebih dekat daripada urat lehernya ".

Nurani, Allah SWT sediakan di dalam hati manusia, sebagai wilayahNya yang dapat diakses oleh hamba kapan saja, menjadikan wilayah keTuhanan yang satu satunya ada di diri manusia.

Beruntunglah, orang orang yang selalu dapat menyelam kedalam nuraninya, ia setiap saat dapat bertemu "Wajah Tuhan" tanpa hijab dan dinding. Membuat ia jatuh cinta pada " Pandangan pertama" kepada Tuhannya setiap waktu.

Pemahaman keberadaan Tuhan dengan hati, hanya khusus kepada orang yang menyimpan rindu kepada Allah SWT. Ibarat orang yang menikmati hidangan yang lezat tapi menyimpan rasa penasaran untuk mengetahui resep hidangan tersebut hingga sampai bertemu dengan pencipta resep itu sendiri.

Akhirnya, bagaimanapun cara pandang kita terhadap keberadaan Allah SWT menjadi pilihan sendiri. Dan jangan sekali kali kita memaksakan cara pandang kita kepada orang lain apalagi mencemoohkan serta menyesatkan pemahaman orang lain. Sebab, setiap orang punya nyali yang berbeda, ada yang hanya ingin bermain ombak di pinggir pantai, dan ada yang berani menyelam dalam lautan dalam, pastinya bagi mereka yang menyelam wajib memiliki ilmu dan pelatih yang mumpuni dan berpengalaman, menjadikan mereka penyelam penyelam mahir yang dapat mengambil mutiara dikedalaman lautan rasa.
(Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah Ar Rabbani, Rais Mustasyar Dewan Ulama Thariqah Internasional )

Untuk lebih jelasnya silahkan disimak video kajian dibawah tentang makna TUHAN JAUH TAK BERPERANTARA, DEKAT TIDAK BERSATU