Minggu, 04 Februari 2018

" AKULAH LAYLA" Cinta Adalah Balada Paling Bergemuruh dan Kesunyian Paling Mencekam


Di dalam kosmologi dan kepustakaan kaum sufi, cinta kepada makhluk merupakan sebuah sarana untuk melatih dan mengasah cinta yang transenden kepada Tuhan semesta alam. Alasannya jelas bahwa seluruh makhluk itu tak lain merupakan perpanjangan tangan dari kemahaan hadiratNya. Tidak ada satupun makhluk, dari yang paling besar sampai yang terkecil, yang tidak menyimpan "alamatNya."

Jatuh cinta kepada makhluk menjadikan seseorang melakukan migrasi secara sungguh-sungguh dan penuh dengan totalitas, yaitu dari dirinya sendiri yang dikungkung ego yang sumpek menuju kepada "kekasih tercinta" yang bertahta di seberang sana.

Ketika migrasi atas nama cinta itu telah mencapai "sempurna", maka seorang pecinta akan mengalami suatu hal yang sakral yang tidak pernah dialami sebelumnya. Yaitu, dia akan menjelma sebagai kekasih itu sendiri dan karena itu dia akan mengorbankan apa saja untuk "dirinya" yang telah mengalami metamorfosis secara sublim dan sempurna.

Itulah sebabnya ketika si gila Qais ditanya tentang siapa sesungguhnya Layla yang telah membuatnya mabuk kepayang dan menjadikannya mengorbankan apa saja demi gelegar cinta suci kepadanya, dengan tandas dia menyatakan: "Akulah Layla, akulah Layla."

Yang terjadi di sini bukanlah hanya jarak yang telah dilipat menjadi sebuah titik tumpu kesatuan, akan tetapi hal yang paling mengagumkan telah menjadi sebuah kenyataan: dua jiwa itu secara hakiki telah menjadi satu dalam sebuah tempayan cinta yang sungguh membahana. Getar nasib dan simfoni jiwa Qais telah bersemayam secara sublim dalam diri Layla. Demikian pula sebaliknya.

Kalau cinta yang terjadi di antara sesama manusia menjadi sedemikian membuncah, sedemikian fokus, sedemikian tulus, sedemikian suci, apalagi kalau cinta itu menghablur ke hadapan Tuhan semesta alam yang jelas-jelas merupakan asal-usul dan sumber dari segala cinta, pasti jauh lebih mengharu-biru, memabukkan dan menenggelamkan.

Di bawah naungan kebun cinta ilahiat, para sufi menyodorkan leher mereka masing-masing di hadapan pedang Ilahi atas cinta mereka kepada hadiratNya. Tidak ada setitik atom pun rasa ego yang tersisa pada diri mereka. Sebagai sungai-sungai yang rindu terhadap lautan, mereka telah menjadi sempurna bergabung dengan samudra maharaya yang merupakan asal-usul dari mereka itu sendiri.

Kita kemudian menjadi mengerti kenapa Nabi Zakariya tidak mengaduh setengah huruf pun ketika pedang cintaNya digorokkan di leher Sang Nabi itu lewat tangan-tangan mereka yang bangsat dan durja dari kalangan umatnya sendiri. Demikian pula ketika takdir yang perih itu ditikamkan kepada anaknya sendiri yang tak lain adalah Nabi Yahya.

Cinta ilahiat yang suci itu telah menjadikan mereka merasa tidak memiliki apapun, termasuk hidup dan mati mereka, kesedihan dan kebahagiaan mereka, juga segala sesuatu yang bertaut dengan mereka.

Allah yang tidak pernah mengecewakan siapapun yang berharap dan datang kepada hadiratNya, dengan sukarela dan penuh kasih-sayang juga mendekap dan bahkan "menjadi" mereka itu sendiri.

Tentang peristiwa sakral dan paling menggemparkan yang menimpa Nabi Zakariya itu, Allah Ta'ala berfirman: "Seandainya Zakariya itu merintih walau hanya sedikit, pasti akan Kubolak-balik langit dan bumi ini."

Kenapa sampai sedemikian mengerikan wahai gerangan? Bukankah Zakariya itu adalah kekasih, nabi dan sekaligus utusanNya?

Pertama, di dalam paradigma cinta ilahiat, erangan atau rintihan itu merupakan bagian dari ego yang masih tersisa dalam diri seorang pecinta. Tidak pantas rasanya kalau guyuran dan arus cinta yang transenden itu masih terhambat oleh sebutir ego yang paling kecil sekalipun.

Kedua, firman Allah Ta'ala di atas itu sesungguhnya merupakan sebuah pengandaian yang menunjuk kepada hal yang sebaliknya. Artinya adalah bahwa cinta suci Nabi Zakariya kepada hadiratNya itu sungguh sangat kukuh dan menawan sehingga tidak ada peluang sedikit pun untuk menolak tikaman cintaNya yang telah terbukti mematikan.

Ketiga, bagaimana mungkin Nabi Zakariya itu akan merintih kalau cinta sakral yang dimilikinya sesungguhnya sedang dikawal dan dibekingi oleh Allah itu sendiri.

Secara hakiki, ketika cinta Nabi Zakariya telah dimainkan dan diperankan oleh Allah Ta'ala sendiri, sebenarnya Dia itu sedang bercinta dengan siapa?

Setiap orang yang telah menyelami lautan makrifat dengan seksama pastilah tahu dan sadar bahwa sesungguhnya Allah Ta'ala itu tak lain mencintai diriNya sendiri. Bukankah secara substansial selain diriNya itu sebenarnya tidak ada dan tidak akan pernah ada?

Cinta dengan demikian tak lain merupakan ingar-bingar, merupakan musik paling rancak, merupakan balada yang paling bergemuruh pada satu sisi. Sementara pada sisi yang lain cinta merupakan kesunyian paling mencekam, merupakan orkestrasi tunggal, juga merupakan monolog belaka. Wallahu a'lamu bish-shawab.

"AKULAH LAYLA"
Oleh: Kuswaidi Syafiie


Jadilah peran dalam suatu perjuangan umat dan jangan hanya jadi penonton, sungguh rugi diakhirnya nanti.

1 comments so far

Dalam cinta kita tak membutuh kan anggur, untuk menjadi mabuk...