Jumat, 01 Maret 2019

Shalat dalam Pandangan Sufi Ibadah yang Tak Boleh Ditawar

shalat sufi

Shalat Pengalaman Ruhani
Kajian Tasawuf Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah Ar-Rabbani

لصلاة عماد الدين, فمن اقامها فقد اقام الدين ومن هدمها فقد هدم الدين
Shalat adalah tiang agama, barangsiapa yang mendirikan shalat
berarti mendirikan agama, dan barangsiapa meninggalkan shalat
berarti meruntuhkan agama
Shalat adalah salah satu bentuk penyembahan kepada Allah SWT. sebagai manifestasi dari rasa syukur kita kepada-Nya. Rasa syukur yang diungkapkan dalam shalat ini berupa bacaan ayat-ayat al-Qur'an, tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir serta gerakan dalam bentuk berdiri tegak, ruku', sujud, dan duduk. Semua bentuk bacaan dan gerakan ini cukup untuk mewakili rasa syukur, ketundukkan, dan pengagungan kita kepada-Nya. Bahkan, semua bentuk penyembahan dan pengagungan yang pernah ada telah terangkum di dalam shalat seperti berdiri, ruku' dan sujud.

Shalat lima kali sehari semalam adalah penyadaran bahwa sedekat apapun seorang hamba kepada Tuhannya, ia tetaplah seorang hamba yang wajib ruku' dan sujud menyembah-Nya. Shalat dalam hal ini berfungsi sebagai sarana pengendali rasa seorang hamba yang mungkin sangat meluap-luap karena mabuk dalam kedekatannya dengan Allah SWT. Shalat menandakan bahwa  ia tetaplah seorang hamba dan Tuhan tetaplah Tuhan. Sebab tanpa hal ini, sang hamba akan dikuasai oleh kemabukan dalam rasa yang tidak lagi berjarak dengan Tuhannya. Dalam kondisi seperti ini, rasa akan menjadi sangat liar dan sangat boleh jadi, sang hamba yang terkuasai oleh rasanya tersebut akan mengaku diri telah bersatu dengan Tuhan. Selanjutnya, perasaan menyatu ini akan mengantarnya ke perasaan dan pemahaman bahwa yang menyembah dan yang disembah adalah sama. Akibatnya, dia akan mulai meremehkan, mengabaikan, dan bahkan meninggalkan shalat. Inilah awal dari ketergelinciran dan penyimpangan umum di kalangan sufi.

Mabuk dalam rasa inilah yang banyak menjerumuskan seorang sufi dalam menapaki perjalanan spiritualnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan, "Rasa yang tidak terkendali lebih berbahaya dari nafsu yang tidak terkendali". Nafsu seorang penjahat yang tidak terkendali, masih akan bisa suatu saat merasakan  bahwa ia tetaplah seorang pendosa (hamba) yang terjerumus dalam gelimang dosa. Sedang rasa seorang sufi yang tidak terkendali akan mengantarnya  menjadi Tuhan, di mana tidak ada lagi suatu kewajiban apapun yang bisa mengikatnya.

Dengan sifat rahman dan rahim-Nya, Allah SWT. mensyariatkan shalat lima kali sehari semalam untuk menyadarkan hamba-Nya bahwa ia tetaplah seorang hamba yang wajib ruku’ dan sujud menyembah-Nya. Kalau shalat yang merupakan bagian dari salah satu syariat, - dan dengan sedikit memperluas logika ini - maka syariat dengan demikian adalah sesuatu hal yang tidak boleh ditawar-tawar apalagi ditinggalkan, meski seorang sufi sudah mencapai rasa kedekatan dengan Tuhannya sedemikian rupa [Zubair Ahmad]

Kajian Terkait:

Jadilah peran dalam suatu perjuangan umat dan jangan hanya jadi penonton, sungguh rugi diakhirnya nanti.