Rabu, 31 Januari 2018

Catatan Terhadap 37 Masalah Populer Abdul Somad Lc Dari Ustadz Ubaidah Yusuf As-Sidawi


MENIMBANG CATATAN USTAD ‘SALAFI’ TERHADAP BUKU KARYA USTAD ABDUS SHOMAD.

Download ebook lengkapnya disini;
Menimbang Catatan Ustadz " Salafi " Terhadap Buku 37 Masalah Populer

(Telaah Kritis Atas Pengkaburan ‘Ilmiah’ Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi Terhadap Konsep Tauhid, Tafwidh & Ta’wil)

Penulis: Ustad Abu Suheil Abdurrahaman
Editor: Ustad Maaher At-Thuwailibi

Dunia medsos diramaikan oleh kritikan/catatan dalam bentuk buku/PDF seorang Ustad “Salafi” bernama Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi terhadap buku Ustadz Abdus Shomad Hafizhahullah yang berjudul “37 Masalah Populer”. Saya baca sambil senyam-senyum, seolah Abu Ubaidah As-Sidawi sedang memposisikan buku Ustad Abdus Shomad sebagai Ahlul Bathil.

Seolah Ustadz Abdus Shamad dengan bukunya itu adalah musuh agama Allah yang harus diperangi. Abu Ubaidah As-Sidawi sudah siap di komen negatif, tapi ajaibnya, yang mendapatkan komen negatif di dunia medsos adalah justru Ustad Abdus Shamad, khususnya dari pendukung Abu Ubaidah As-Sidawi, seperti yang saya baca sendiri Ustad Abdus Shamad disebut pendusta, keledai, dsb.

Mari kita timbang kritikan/catatan Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi terhadap buku Ustad Abdus Shamad diatas.

PERTAMA: MASALAH AQIDAH.

Kata Abu Ubaidah As-Sidawi, Ustad Abdus Shamad mengikuti metode tafwidh dan ta’wil dalam menyikapi tauhid asma’ wa sifat. Lalu kata Abu Ubaidah As-Sidawi, dua metode ini diingkari para salafush shalih.

Salaf mana yang dimaksud Abu Ubaidah As-Sidawi? Sebab, istilah “Tauhid Asma wa Shifat” sebagai sebuah nomenklatur pun belum di kenal pada masa Salaf (terdahulu) alias MUHDATS. Istilah “Tauhid Rububiyah”, “Uluhiyah”, dan “Asma wa Sifat” baru ada di masa khalaf (terkemudian). Jika ada yang mengatakan pembagian tauhid itu sudah ada di masa salaf, bisa dipastikan dia dusta, atau ngigau.! Lalu siapa yang pertama kali membagi seperti itu? toh Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah pun hanya membagi tauhid menjadi dua. Dalam majalah Nurul Islam, yang diterbitkan para masyayikh Al-Azhar Asy-Syarif (Rabi’u Tsani tahun 1352 H), terdapat kritikan terhadap pembagian Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma’ Wa Shifat itu.

Al-‘Allamah Yusuf Ad-Dajwiy Al-Azhariy berkata:

قولهم: (ان التوحيد ينقسم الى توحيد الربوبية و توحيد الالوهية) تقسيم غير معروف لاحد فبل ابن تيمية و غير معقول ايضا كما ستعرفه ...

[Perkataan mereka bahwa sesungguhnya tauhid itu terbagi atas tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah, ini adalah pembagian yang tidak dikenal oleh seorang pun sebelum Ibnu Taimiyah dan juga tidak masuk akal sebagaimana yang akan anda ketahui..., dst.]

Anggaplah masalah ini bukan fokus kita. toh dari sini juga sudah jelas, mungkin maksud Abu Ubaidah As-Sidawi salaf yang lain kali, tapi kalau Salafnya adalah Rasulullah ﷺ, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, imam empat madzhab, ya tidak ada yang mengenal istilah “Tauhid Asma wa Sifat” di masa itu.

KEDUA: BENARKAH ULAMA SALAF MENOLAK TAFWIDH?

Tafwidh itu, makna sederhananya ialah mengembalikan makna sifat Allah ﷻ kepada Allah ﷻ, Dialah yang tahu ilmu dan maknanya. Nah, apa yang dikatakan Ustad Abdus Shamad tidaklah salah, sebab Imam Al-Alusi mengomentari surat Al-A’raf ayat 54:

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Kemudian Allah bersemayam di atas ‘Arsy”

Beliau (Imam Al-Alusi) berkata:

وأنت تعلم أن المشهور من مذهب السلف في مثل ذلك تفويض المراد منه إلى الله تعالى


“Engkau telah mengetahui, bahwa yang masyhur dari madzhab SALAF dalam hal seperti ini adalah tafwidh (menyerahkan) maksudnya kepada Allah Ta’ala.”
(Kitab Ruhul Ma’aniy, 8/136)

Dalam Ruhul Ma’ani juga disebutkan:

قال اللقاني : أجمع الخلف ويعبر عنهم بالمؤولة والسلف ويعبر عنهم بالمفوضة على تنزيهه تعالى عن المعنى المحال الذي دل عليه الظاهر وعلى تأويله وإخراجه عن ظاهره المحال وعلى الإيمان به بأنه من عند الله تعالى جاء به رسول الله صلى الله عليه وسلم ...

[ Al-Laqqani berkata, “Kaum khalaf -sering disebut orang-orang yang melakukan takwil- dan kaum salaf -sering disebut sebagai orang yang melakukan tafwidh- telah sepakat untuk mensucikan Allah dari lafaz zhahir yang mustahil bagi Allah, menakwil dan mengeluarkan dari lafaz zhahir yang mustahil, serta mengimani bahwa hal itu adalah dari Allah yang diturunkan kepada Rasulullah ﷺ.
(Ruhul Ma’ani, 16/160)

Apa yang dikatakan Ustad Abdus Shomad TIDAK SALAH, sebab Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:

" الْإِيمَانُ بِصِفَاتِ اللَّهِ تَعَالَى وَأَسْمَائِهِ " الَّتِي وَصَفَ بِهَا نَفْسَهُ وَسَمَّى بِهَا نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ وَتَنْزِيلِهِ أَوْ عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَيْهَا وَلَا نَقْصٍ مِنْهَا وَلَا تَجَاوُزٍ لَهَا وَلَا تَفْسِيرٍ لَهَا وَلَا تَأْوِيلٍ لَهَا بِمَا يُخَالِفُ ظَاهِرَهَا وَلَا تَشْبِيهٍ لَهَا بِصِفَاتِ الْمَخْلُوقِينَ ؛ وَلَا سِمَاتِ المحدثين بَلْ أَمَرُوهَا كَمَا جَاءَتْ وَرَدُّوا عِلْمَهَا إلَى قَائِلِهَا ؛ وَمَعْنَاهَا إلَى الْمُتَكَلِّمِ بِهَا . وَقَالَ بَعْضُهُمْ - وَيُرْوَى عَنْ الشَّافِعِيِّ - : " آمَنْت بِمَا جَاءَ عَنْ اللَّهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مُرَادِ رَسُولِ اللَّهِ "

“Beriman kepada Sifat Allah Ta’ala dan Nama-Nya yang telah Dia sifatkan diri-Nya sendiri, dan Dia namakan diri-Nya sendiri, di dalam Kitab-Nya dan wahyu-Nya, atau atas lisan Rasul-Nya, dengan tanpa penambahan atau pengurangan atasnya, tidak melampauinya, tidak menafsirkannya dengan apa-apa yang menyelisihi zhahirnya, tidak menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk, dan apalagi dengan pembawa berita, TETAPI MEMBIARKAN SEBAGAIMANA DATANGNYA, DAN MENGEMBALIKAN ILMUNYA KEPADA YANG MENGUCAPKANNYA, dan mengembalikan maknanya kepada yang membicarakannya. Sebagian mereka berkata: -diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i- : Aku beriman dengan apa-apa yan datang dari Allah, dan yang datang dari Rasulullah Shllalalhu 'Alaihi wa Sallam dengan maksud dari Rasulullah.”
(Majmu’ Fatawa, 4/2)

USTAD ABDUS SHOMAD TIDAK SALAH. sebab Al-Imam Ibnu Hajar mengutip ucapan Ibnul Munayyar sebagai berikut:

وَلِأَهْلِ الْكَلَام فِي هَذِهِ الصِّفَات كَالْعَيْنِ وَالْوَجْه وَالْيَد ثَلَاثَة أَقْوَال : أَحَدهَا أَنَّهَا صِفَات ذَات أَثْبَتَهَا السَّمْع وَلَا يَهْتَدِي إِلَيْهَا الْعَقْل ، وَالثَّانِي أَنَّ الْعَيْن كِنَايَة عَنْ صِفَة الْبَصَر ، وَالْيَد كِنَايَة عَنْ صِفَة الْقُدْرَة ، وَالْوَجْه كِنَايَة عَنْ صِفَة الْوُجُود ، وَالثَّالِث إِمْرَارهَا عَلَى مَا جَاءَتْ مُفَوَّضًا مَعْنَاهَا إِلَى اللَّه تَعَالَى

[ Bagi Ahli kalam, tentang sifat-sifat ini seperti ‘mata’, ‘wajah’, ‘tangan’, terdapat tiga pendapat:

Pertama, sifat-sifat Allah adalah dzat yang ditetapkan oleh pendengaran (wahyu) dan tidak mampu bagi akal untuk mengetahuinya.

Kedua, bahwa ‘mata’ adalah kinayah (kiasan) bagi penglihatan, ‘tangan’ adalah kinayah dari kekuatan, dan ‘wajah’ adalah kinayah dari sifat wujud. Ketiga, melewatinya sebagaimana datangnya, dan menyerahkan (mufawwadha) maknanya kepada Allah Ta’ala.
(Kitab Fathul Bari, 13/390)

Imam Ibnu Katsir berkata tentang surat Al-A’raf ayat 54 yang berbunyi: “Tsummastawa ‘alal ‘arsy” (kemudian Allah beristawa’/bersemayam di atas Arsy).

Kata Imam Ibnu Katsir:

وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري،والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا انكار.

[ Sesungguhnya cara yang ditempuh oleh madzhab salafus shalih dalam hal ini, seperti Malik, Al-Auza’i, Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’ad, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, dan lain-lain, dari kalangan Imam muslimin baik dahulu maupun sekarang. MEREKA MELEWATINYA (MEMBIARKAN) SEBAGAIMANA DATANGNYA dengan tanpa bertanya bagaimana, tanpa menyerupakan, dan tanpa mengingkari ]
(Tafsir Al-Quranil ‘Azhim/Tafsir Ibnu Katsir 3/ 427)

LAGI-LAGI USTAD ABDUS SHOMAD TIDAK SALAH. sebab Imam Malik Rahimahullah pernah ditanya tentang hadits-hadits sifat lalu dia menjawab:

أمرها كما جاءت، بلا تفسير

“Biarkan saja sebagaimana datangnya, jangan tafsirkan.”

(Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lamin Nubala’ 8/105)

Nah ... Ustad Abdus Shamad tidak salah ketika mengatakan bahwa SALAF ITU TAFWIDH, yaitu Tafwidhul ma’na ilallah, mengembalikan maknanya kepada Allah ﷻ.

Ini juga pendapat Syaikh Hasan Al-Banna Rahimahullah dalam kitab Al-‘Aqaid-nya (seorang Syaikh yang sangat dibenci oleh Abu Ubaidah As-Sidawi dan komunitasnya)..

Kata Imam Hasan Al-Banna Rahimahullah:

ونحن نعتقد أن رأي السلف من السكوت وتفويض علم هذه المعاني إلى الله تبارك وتعالى أسلم وأولى بالاتباع ، حسما لمادة التأويل والتعطيل ، فإن كنت ممن أسعده الله بطمأنينة الإيمان ، وأثلج صدره ببرد اليقين ، فلا تعدل به بديلا

“Kami meyakini bahwa pendapat salaf yakni diam dan menyerahkan ilmu makna-makna ini kepada Allah Ta’ala adalah lebih selamat dan lebih utama untuk diikuti, dengan memangkas habis takwil dan ta’thil (pengingkaran), maka jika Anda adalah termasuk orang yang telah Allah bahagiakan dengan ketenangan iman, dan disejukkan dadanya dengan salju embun keyakinan, maka janganlah mencari gantinya (salaf).”
(Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna, Majmu’ Ar Rasail, Hal. 368. Al-Maktabah At-Taufiqiyah)

Ini juga dikatakan Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki, yang berkata:

فإِنَّ أحدًا لا يعرفُ كيفيةَ ما أخبر الله به عن نفسه ، ولا يقف على كنه ذاته وصفاته غيره ، وهذا هو الذي يجبُ تفويضُ العلم فيه إِلى الله عزَّ وجلَ

[ Maka, sesungguhnya tak ada satu pun manusia yang mengetahui bagaimana caranya, tentang apa-apa yang Allah kabarkan tentang diri-Nya, dan tidak ada yang mengerti asal-Nya, Dzat-Nya, Sifat-Nya, selain diri-Nya; dan yang demikian itulah yang diwajibkan untuk menyerahkan (TAFWIDH) ilmu tentang hal itu kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
(Mujmal I’tiqad A’immah As-Salaf Hal. 141)

KETIGA: MASALAH TA’WIL.

Benarkah Ta’wil Itu Bukan Perilaku Salaf sebagaimana klaim Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi?

Anggapan Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi bahwa Tafwidh adalah metode yang diingkari salaf, merupakan anggapan yang ngelindur, ngigau, dan ngawur. Nah, menurut Abu Ubaidah, ta’wil juga metode yang diingkari salaf .. benarkah? Ataukah dia lagi-lagi sedang mengigau?

Kita akan dapati bahwa sebagian salaf, mulai dari sahabat dan tabi’in juga ada yang melakukan ta’wil terhadap sifat-sifat yang disandarkan kepada Allah Ta’ala. Namun, pada generasi selanjutnya, metode ta’wil inilah yang lebih sering ditempuh oleh para ulama. Maka boleh kita katakan, ta’wil merupakan madzhab jumhur setelah masa-masa abad-abad pertama Islam. Ta’wil yang kita bahas di sini, bukanlah ta’wil kaum zindiq yang memang telah melakukan penyimpangan terhadap makna-makna sifat Allah Ta’ala.

Sebelum kami paparkan tentang contoh ta’wil para Imam Ahlus Sunnah, kami akan berikan rambu-rambu ta’wil, dari Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah.

Syaikhuna Muhammad Bin Shalih Al-‘Utsaimin membagi ta’wil menjadi tiga dalam kitab Lum’atul I’tiqad Hal 19 (kami ringkas saja):

1. Dilakukan melalui ijtihad dan niat yang baik. Maka ini dimaafkan.

2. Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan memiliki argumentasi bahasa Arab, maka pelakunya fasiq, kecuali jika pendapatnya itu terdapat penguarangan atau aib terhadap Allah maka itu bias kufur.

3. Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan tanpa memiliki argumentasi bahasa Arab. Keloimpok ini kufur, kaena pada hakikatnya kedustaan yang tidak berdasar.

Jadi, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin saja masih bisa menerima ta’wil walau bersyarat.

Berikut ini beberapa contoh ta’wil yang dilakukan oleh sahabat Nabi dan Tabi’in ridhwanullah ‘alaihim jami’an, terhadap ayat-ayat sifat.

Firman Allah Ta’ala tentang ‘tangan’:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ

“Dan orang Yahudi berkata: tangan Allah terbelenggu ..”

Ayat ini tidak mungkin dipahami sesuai teksnya, sebab membawa makna Allah Ta’ala serupa dengan makhluk-Nya sendiri yang tangannya terbelenggu. Oleh karena itu, Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan:

ليس يعنون بذلك أن يد الله موثقةٌ، ولكنهم يقولون: إنه بخيل أمسك ما عنده، تعالى الله عما يقولون علوًّا كبيًرا.

“Maknanya bukanlah tangan Allah terikat, tetapi mereka mengatakan: Sesungguhnya Allah Ta’ala bakhil, lantaran telah menahan apa-apa yang ada pada-Nya, Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang besar.”

Sementara Qatadah Radhyiallahu ‘Anhu mengatakan:

أما قوله:"يد الله مغلولة"، قالوا: الله بخيل غير جواد!

“Ada pun tentang firman-Nya, “Tangan Allah Terbelenggu”, mereka mengatakan: “Allah itu bakhil tidak dermawan.”
(Imam Abu Ja’afar bin Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran, 10/452-453)

Imam Ibnu Katsir telah menyebutkan, dari Ibnu Abbas tentang makna ‘terbelenggu’: yakni bakhil. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 3/146)

Imam Al-Baghawi Rahimahullah berkomentar tentang ayat tersebut:

قال ابن عباس وعكرمة والضحاك وقتادة: إن الله تعالى كان قد بسط على اليهود حتى كانوا من أكثر الناس مالا وأخصبهم ناحية فلما عصوا الله في أمر محمد صلى الله عليه وسلم وكذبوا به كف الله عنهم ما بسط عليهم من السعة، فعند ذلك قال فنحاص بن عازوراء: يد الله مغلولة، أي: محبوسة مقبوضة عن الرزق نسبوه إلى البخل، تعالى الله عن ذلك.

“Berkata Ibnu Abbas, Ikrimah, Adh Dhahak, dan Qatadah: “Sesungguhnya Allah Ta’ala begitu lapang terhadap Yahudi sampai-sampai mereka menjadi manusia yang paling banyak hartanya dan kelompok paling makmur di antara mereka. Lalu, ketika mereka mengingkari Allah dalam urusan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mendustakannya, maka Allah Ta’ala menahan buat mereka apa-apa yang dahulu Dia lapangkan, maka saat itulah Finhash bin ‘Azura berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, yaitu dikekang dan dicabut dari rezeki, mereka menyandarkan-Nya dengan kebakhilan. Maha Tinggi Allah dari hal itu.”
(Imam Al Baghawi, Ma’alim At Tanzil, 3/76)

Ayat lainnya:

قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّه

“Katakanlah: "Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah..” (QS. Ali Imran ayat 73)

Imam Ibnu Katsir menta’wil ayat ini, katanya:

أي: الأمورُ كلها تحت تصريفه، وهو المعطي المانع، يَمُنّ على من يشاء بالإيمان والعلم والتصور التام، ويضل من يشاء ويُعمي بصره وبصيرته، ويختم على سمعه وقلبه، ويجعل على بصره غشاوة، وله الحجة والحكمة

“Yaitu semua urusan di bawah pengaturan-Nya. Dialah yang memberi dan menolak. Dia memberikan karunia berupa ilmu, iman, dan seluruh tindakan kepada siapa saja secara sempurna. Serta menyesatkan, membutakan penglihatannya dan mata hatinya, menutup pendengarannya dan hatinya, dan menjadikan pada pandangannya halangan, dan Dia-lah yang memiliki hujjah dan hikmah.”
(Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim, 2/60)

Dalam ayat lain, yang menyebutkan sifat Wajhullah (Wajah Allah), para Imam Ahlus Sunnah pun melakukan ta’wil:

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

وهكذا قوله ها هنا: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ } أي: إلا إياه.

“Demikian juga, firman-Nya di sini: “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya”, yaitu kecuali Diri-Nya”
(Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/261)

Begitu pula Imam Al-Qurthubi Rahimahullah mengatakan tentang makna ‘Wajah Allah’:

قال: " إنما نطعمكم لوجه الله " أي لرضائه وطلب

ثوابه، ومنه قوله صلى الله عليه وسلم: (من بنى مسجدا يبتغي به وجه لله بنى الله له مثله في الجنة).

“Allah Ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian, hanyalah demi wajah Allah.’ Yaitu demi ridha-Nya, dan mencari pahala-Nya, dari itulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa membangun masjid dengan mengharap wajah Allah, maka akan Allah bangunkan baginya yang seumpama itu di surga.” (Al-Jami’ Li Ahkamil Quran, 2/84)

Belau juga mengatakan:

(ويبقى وجه ربك) أي ويبقى الله، فالوجه عبارة عن وجوده وذاته سبحانه، قال الشاعر: قضى على خلقه المنايا * فكل شئ سواه فاني

وهذا الذي ارتضاه المحققون من علمائنا: ابن فورك وأبو المعالي وغيرهم.

وقال ابن عباس: الوجه عبارة عنه كما قال: (ويبقى وجه ربك ذو الجلال والاكرام) وقال أبو المعالي: وأما الوجه فالمراد به عند معظم أئمتنا وجود الباري تعالى، وهو الذي ارتضاه شيخنا.

( Dan yang tersisa hanyalah wajah Rabb-mu, yaitu yang tersisa hanyalah Allah, wajah merupakan ibarat (perumpamaan) dari wujud-Nya dan Zat-Nya yang Maha Suci. Berkata seorang penyair: “Telah ditetapkan atas hamba-Nya kematian, Segala sesuatu selain-Nya adalah binasa (fana).” inilah yang disetujui para muhaqqiq (peneliti) dari ulama kami, seperti: Ibnu Furak, Abu Al-Ma’ali, dan lainnya. )

Ibnu Abbas mengatakan: Wajah merupakan ibarat dari-Nya, sebagaimana frman-Nya: “Dan yang tersisa hanyalah wajah Rabbmu yang memiliki keagungan dan kemuliann.” Abul Ma’ali mengatakan: “Ada pun wajah maksudnya adalah menurut imam-imam besar kami adalah wujud Allah Ta’ala, dan itulah yang disetujui oleh guru kami.” (Ibid, 17/165)

Ayat lainnya:

سَنَفْرُغُ لَكُمْ أَيُّهَا الثَّقَلانِ

“Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu Hai manusia dan jin.” (QS. Ar Rahman ayat 31)

Para ulama salaf pun melakukan ta’wil atas ayat “kami akan memperhatikan”, sebab jika dipahami secara zhahir makna ‘memperhatikan’ membutuhkan alat penginderaan, dan itu mustahil bagi Allah Ta’ala. Oleh karena itu Imam Ibnu Jarir berkata tentang ayat tersebut:

وأما تأويله : فإنه وعيد من الله لعباده وتهدد

“Ada pun ta’wilnya adalah ancaman dari Allah dan menakut-nakuti.” Begitu pula yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Adh Dhahak. (Jami’ul Bayan, 23/41-42)

Ayat lain:

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ

“ ..dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. Al-Hadid ayat 4)

Ayat ini mesti dita’wil, sebab jika tidak, akan bertentangan dengan kalimat yang ada pada ayat itu sendiri bahwa Allah bersemayam di ‘Arsy-Nya. Oleh karena itu Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah dan para pengikutnya pun yang sangat anti ta’wil, juga menakwil ayat ini.

Ayat ini tidak berarti Allah Ta’ala secara zat ada di setiap tempat kita berada, dan tidak boleh mengartikan demikian.

Kata Imam Ibnu Jarir, ta’wilnya adalah:

وهو شاهد لكم أيها الناس أينما كنتم يعلمكم، ويعلم أعمالكم، ومتقلبكم ومثواكم، وهو على عرشه فوق سمواته السبع

“Dia menyaksikan kalian, wahai Manusia, dimana saja kalian berada Dia mengetahui kalian, mengetahui perbuatan kalian, lalu lalang kalian, dan di tempat tinggal kalian,dan Dia di atas ‘Arsy-Nya, di langit yang tujuh.” (Ibid, 23/196)

Demikianlah. Sebenarnya masih sangat banyak ta’wil yang dilakukan para ulama terhadap ayat-ayat sifat, dalam rangka menjaga kesucian sifat-sifat-Nya dari penakwilan menyimpang manusia. Sikap ta’wil ini di dukung deretan para Imam kaum muslimin, seperti Imam Al-Ghazali, Imam An-Nawawi, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam Al-Khathabi, Imam Fakruddin Ar-Razi, Imam Al-Jashash, Imam As-Suyuthi, Imam Al-Baqillani, Imam Ibnu Daqiq Al ‘Ied, Imam Izzuddin bin Abdusalam, Imam Abul Faraj bin Al Jauzi, Imam An-Nasafi, Imam Al-Bulqini, Imam Ar-Rafi’i, Imam Al-Baidhawi, Imam Al-Amidi, Imam Al-‘Iraqi, Imam Ibnu Al ‘Arabi, Imam Al-Qurthubi, Imam Al-Qadhi ‘Iyadh, Imam Al-Qarrafi, Imam Asy Syathibi, Imam Abu Bakar Ath-Thurthusi, Imam Syahrustani, Imam Al-Maziri, Imam Isfirayini, Imam Dabusi, Imam As Sarakhsi, Imam At-Taftazani, Imam Al Bazdawi, Imam Ibnul Hummam, Imam Ibnu Nujaim, Imam Al-Karkhi, Imam Al Kasani, Imam As-Samarqandi, dan lain-lain. Mereka inilah yang biasa disebut kaum Asy ‘ariyah. (sebenarnya kami ingin menguraikan satu-persatu bukti sikap mereka, namun ini sudah cukup mewakili)

Jika kita perhatikan, maka jumhur ulama adalah melakukan ta’wil. Namun, para ulama salaf (terdahulu), lebih sedikit melakukan ta’wil. Ada apa dibalik ini? Ini bisa terjadi, lantaran Islam dan Al-Quran telah menyebar ke seluruh penjuru dunia yang penduduknya bukan berbahasa Arab. Sehingga, jika ayat-ayat dan hadits-hadits sifat ini dibaca dan difahami secara literal (zhahiriyah), maka bisa menggelincirkan pemahaman orang awam yang tidak bercita rasa bahasa Arab. Oleh karena itu, bangkitlah para ulama untuk melindungi nash-nash tersebut, dari kemungkinan tafsiran berbahaya orang-orang ‘Ajam (non Arab).

Dari sisi ini, maka sebenarnya antara salaf dan khalaf, memiliki tujuan yang sama dengan sikap mereka itu, AT-TANZIHUL WAHY (yakni menjaga kesucian Al-Quran). Oleh karena itu, walau kami lebih condong kepada pemahaman SALAF (yaitu menetapkan metode Itsbat), tidak selayaknya menjadikan polemik ini sebagai ajang saling pengkafiran sesama umat Islam. sebab, para ulama yang berselisih pun tidak sampai tingkat seperti itu. Sebab memojokkan kaum Asy’ariyah (para penakwil) dan menuduhnya keluar dari Ahlus Sunnah, sama juga memojokkan nama-nama para Imam kaum muslimin yang telah mendapat posisi penting di hati umumnya kaum muslimin. Maka, renungkanlah!

Kesimpulan kami, Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi ini mesti banyak baca kitab lagi. nantikan tulisan kami selanjutnya, “siapa bilang Aqidah Asy’ariyyah itu sesat?”

Allahu A’lam.

Update
Sumber: https://web.facebook.com/maaheratthuwailibi.official


Jadilah peran dalam suatu perjuangan umat dan jangan hanya jadi penonton, sungguh rugi diakhirnya nanti.

2 comments

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Asyariyah tidak menginani Allah di atas langit. Sesat.