Senin, 22 Januari 2018

Kajian Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah; Allah Tak Menyembunyikan Diri-Nya


Assalamu’alaikum wr.wb.

Sesungguhnya Allah itu Mahabesar. Mahabesar di sini bukan dalam arti ukuran, karena banyak yang salah memahami bahwa Allah Mahabesar itu dalam arti ukuran. Selagi kita menganggap Allah itu besar dalam bentuk ukuran maka selama itu pula kita telah terhijab dari kedekatan dengan Allah. Besarnya Allah itu maha meliputi, Satunya Allah itu meliputi, Ghaibnya Allah itu meliputi, Kenyataan Allah itu meliputi. Segala  yang ada di dunia pasti ada yang nyata, yaitu Allah. Segala yang ada atau wujud , baik yang ada di mata, ada di telinga, ada di rasa  maka Allah meliputinya. Bahkan, ada sekolompok orang mengatakan bahwa alasan mengapa Allah tidak dapat dilihat adalah karena Allah itu Mahabesar. Karena mahabesar, maka kita tidak sanggup untuk melihatnya. Ini adalah cara berpikir yang sangat pendek. Padahal, untuk melihat kebesaran Allah, maka lihatlah kekecilan atau kekerdilan diri kita. Tidak perlu kita harus mencoba untuk membayangkan atau memcoba untuk mengumpamakan. Lihat  saja betapa kecilnya diri kita, betapa tidak ada artinya diri kita ini, tidak ada apa-apanya. Orang yang bisa memahami itulah yang dapat mengerti betapa besarnya Allah. Jadi, bukan mesti Allah itu diumpamakan sebagai sesuatu yang besar sehingga tidak bisa untuk dilihat. Atau, menganggap bahwa saking besarnya Allah sehingga kita tidak sanggup untuk melihat-Nya. Ibarat semut di ujung kaki kita yang mau melihat kita. Semut ingin melihat mata kita saja tidak sanggup, bahkan tidak tau mana yang mata kita karena saking besarnya. Ini adalah sesuatu perumpamaan yang bodoh dan salah kaprah.

Begitu pun tentang Ghaibnya Allah. Ghaibnya itu bukan berarti Allah menyembunyikan diri-Nya. Untuk apa kita mau mengetahui Allah padahal Allah itu Mahaghaib, yang menyembunyikan diri-Nya dari makhluk. Atau, tidak pantas bagi kita untuk mengetahui atau menyaksikan Allah karena Dia Mahaghaib. Ghaibnya Allah bukan berarti Dia bersembunyi dari diri kita. Bahkan, para sufi mengatakan bahwa ghaibnya Allah itu merupakan cara Allah untuk membangkitkan gairah para kekasih yang mencari-Nya, untuk merindui-Nya. Ghaibnya Allah dari manusia bukan untuk menghijab, apalagi ingin menghalangi seorang hamba untuk mengenali-Nya. Malah, ghaibnya Allah itu untuk menimbulkan gairah bagi para perindu-Nya. Artinya apa? Hanya orang-orang yang rindu yang dapat bertemu dengan Allah, hanya orang-orang yang rindu yang dapat memahami tentang ghaibnya Allah. Orang yang hatinya tidak pernah merasa rindu kepada Allah, tidak akan pernah bisa memahami tentang ghaibnya Allah. Gaib itu tinggallah gaib baginya. Tetapi, bagi orang yang punya rasa rindu kepada Allah dan dia tahu bahwa Allah itu Mahagaib maka hal itu merupakan ujian baginya untuk membuktikan betapa besar rindunya kepada Allah. Dalam ilham sirriyah, Allah berfirman “Bukankah karena Akulah sehingga engkau dapat datang kepada-Ku. Aku yang berada pada rindumu.”

Bapak Ibu yang Allah rahmati.

Pemahaman seperti ini perlu kita pahamkan dalam diri. Berapa tahunlah kita akan hidup di dunia ini. Bukankah Prof Bambang (Prof. DR. HM. Bambang Pranowo-red) baru saja kemarin kita duduk bersama beliau, baru kemarin kita melihat senyum beliau, baru kemarin kita mendengar tausiah beliah. Namun, beliau telah tiada dan meninggalkan kita. Waktu berputar terus, maka jangan sampai lengah. Silahkan pikiran berpikir tentang dunia, tetapi hati jangan sampai lengah. Jika kita bercerai-berai, maka itu sasaran empuk bagi srigala untuk memakan  dan memangsa kita.  Silahkan, gunakan akal tentang apa pun yang kita pikirkan di dunia ini, tetapi hati jangan sampai lengah. Hati yang lengah itu seperti apa? Hati yang putus zikirnya kepada Allah. Zikir yang dimaksud adalah zikir melalui rasa, bukan zikir lisan karena itu bisa terputus dalam 24 jam. Kajian tentang zikir rasa ini sudah kita kaji sebelumnya.

Bapak ibu yang Allah rahmati.

Saya akan mengulang kembali kajian kita sebelumnya. Apa yang saya sampaikan pada malam hari ini, seumur hidup jangan lupa! seumur hidup jangan lupa! seumur hidup jangan lupa! Andaikan lupa, andaikan lupa, maka tidak akan selamat. Pada sakaratul maut pun tidak akan selamat. Di akhirat apalagi.

“Sebaik-baik zikir adalah merasakan Allah, sebaik-baik merasakan Allah adalah menyaksikan Allah.” Namun, apabila kita tidak sampai dapat menyaksikan Allah, apa yang mesti kita rasakan agar hubungan kita tidak terputus walau satu detik dengan Allah? Kita disuruh shalat lima waktu. Apa manfaatnya sehingga Allah menyuruh kita shalat lima waktu? Bagi Allah tidak ada manfaatnya, tetapi bagi kita ada manfaatnya. Shalat lima waktu inilah yang mengajarkan rasa itu kepada kita, yaitu rasa sebagai budak di hadapan Allah. Itu saja yang perlu dimiliki. Kita tidak perlu bicara tentang merasakan hadirnya Allah, tidak berjarak dan tidak berperantara dengan-Nya. Cukup merasakan dalam batin kita, paling tidak, masih merasakan diri sebagai hamba Allah. Rasa sebagai hamba Allah inilah yang diasah dalam shalat waktu. Itulah kelebihan kita sebagai umat Nabi Muhammad Saw, dimana kita diajarkan merasakan diri sebagai hamba dalam lima waktu sehari semalam. Itu adalah untuk kembali memasang niat, memperbaharui niat, menancapkan kembali bendera kehambaan di hati kita. Percuma kita rukuk dan sujuk jika kita selesai shalat tetapi tidak merasakan diri sebagai hamba di dalamnya. Bagaimana perasaan seorang budak? Kita dapat merasakan diri sebagai karyawan karena ada atasan, merasakan diri sebagai bawakan jika ada bosnya, tentu kita merasakan hambanya Allah karena kita yakin akan adanya Allah Sang Tuhan.

Bapak Ibu yang Allah rahmati.

Inilah yang harus kita bawa ke mana pun kita melangkahkan kaki di dunia ini, ingatlah bahwa kita adalah hamba-Nya. Hamba yang dikendalikan sepenuhnya oleh Allah. Kita tidak memiliki daya dan upaya, dari ujung rambut hingga ujung kaki bukan milik kita. Itulah hendaknya yang selalu kita ingat. Apa saja masalah yang datang datang, maka ingat bahwa kita adalah hamba. Apa saja ujian yang datang maka ingatlah bahwa kita adalah hamba. Itulah kekuatan kita yang sebenarnya. Di titik nol itulah sumber kekuatan bagi seorang hamba.

Semoga kita selalu diberikan bimbingan Allah Swt, jangan sampai kita tersesat, atau terhijab kembali. Karena, bagi seorang hamba yang telah menemukan suatu majelis yang membuat hatinya tersambung kepada Allah, atau paling tidak dia merasa nyaman ketika menerima kajian berarti itu adalah hidayah dari Allah pada dirinya. Maka, istiqamahlah di sana dan jangan bergeser sedikit pun. Sekali pun nanti ada angin badai, hujan batu, atau berdarah-darah, maka tetaplah berpegang teguh dan jangan bergeser. Sebab, setiap sesudah ada cahaya pasti ada gelap, dan setiap sesudah gelap akan ada cahaya di sana. Mudah-mudahan Allah satukan kita, satukan hati dan ruh kita, dihimpunkan di dunia dan di akhirat. Amin wal hamdu lillahi rabbil’alamin.

Masjid Rabbani, 17 Januari 2018
Ditulis Oleh: DR. Zubair Ahmad, MA

Sumber: http://majelisrabbani.org

Jadilah peran dalam suatu perjuangan umat dan jangan hanya jadi penonton, sungguh rugi diakhirnya nanti.