Kamis, 14 Desember 2017

Tragedi Abu Janda Ustadz Yang Dibuang Oleh Banser NU Setelah ILC 212


Setelah ditunggu cukup lama, akhirnya Abu Janda Al-Boliwudi muncul di forum terbuka. Kehadirannya di sebuah acara debat di salah satu stasiun televisi swasta menjawab banyak pertanyaan yang meliputi sosoknya di dunia maya yang sangat kontroversial. Sebagian besar orang sampai pada kesimpulan yang sama, yaitu bahwa citra intelektual yang telah dibangun selama ini oleh Abu Janda sama palsunya dengan nama yang ia gunakan.

Di dunia maya, Abu Janda dikenal karena penampilannya yang nyentrik, cengengesan dan terkesan meremehkan orang lain. Para ulama dikritiknya, ajaran Islam yang sudah mapan diobrak-abriknya, dan ia melakukannya dengan cara yang (diniatkan) lucu. Bahkan ia pernah merekam video di Masjidil Haram, dan kemudian selalu mengaitkan dirinya dengan Banser NU, bahkan belakangan tidak pernah lupa mengenakan jaket resminya.

Betapa pun Abu Janda hendak mengidentikkan dirinya dengan NU, namun imej itu runtuh begitu saja ketika ia mengatakan bahwa otoritas hadits diragukan, sebab (menurutnya) hadits baru dibukukan 200 tahun setelah Rasulullah saw wafat. Tentu saja NU, yang dibangun oleh para ulama dan berbasis pesantren, tidak mungkin menerima pernyataan Abu Janda yang menafikan otoritas hadits. Kalau hadits tidak bisa diyakini kebenarannya, lalu buat apa para kyai dan santri bergelut dengannya setiap hari?

Seandainya Hadhratus Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari masih hidup, tentu ia akan tersinggung mendengar orang yang mengaku-ngaku NU meragukan otoritas hadits. Sebab, Kyai Hasyim sendiri adalah seorang ulama yang memiliki spesialisasi dalam bidang hadits, di antara ilmu-ilmu lainnya yang beliau kuasai. Dari sekian banyak gurunya, beliau menerima ijazah untuk mengajar Kitab Shahih Bukhari dari Syaikh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi, ulama asli Indonesia yang secara khusus mengajar kitab tersebut di Mekkah.

Apa yang dikatakan oleh Abu Janda sendiri, yaitu bahwa hadits baru dibukukan 200 tahun setelah Rasulullah saw wafat, bukan pemikiran baru, apalagi orisinil. Opini itu adalah delusi yang dipertahankan oleh kaum orientalis sejak lama. Disebut delusi, sebab pandangan ini telah habis dibantah oleh Prof. Dr. Muhammad Musthafa al-A’zhami dalam disertasinya yang telah beredar di tanah air dengan judul Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Menariknya, disertasi ini dibuat di Universitas Cambridge dan isinya membantah dua orientalis terkemuka, yaitu Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht. Sampai sekarang, disertasi ini belum ada yang mampu membantahnya. Akan tetapi, kalangan liberalis di tanah air, seperti Abu Janda juga, masih dengan fanatiknya mempertahankan keyakinan yang sama.

Melengkapi segala kekonyolan yang telah diperbuatnya, Abu Janda kemudian menyatakan bahwa dirinya bukan ustadz, meskipun seluruh dunia tahu bahwa ia sendiri yang menyebut dirinya sebagai ‘Ustad Abu Janda Al-Boliwudi’. Sebagian merasa tidak heran, karena sejak lama meyakini bahwa ia bukan ustadz betulan, sebagian masih mempertahankan delusinya (disebut delusi, tentu saja, karena merupakan keyakinan yang irasional), dan tidak sedikit yang kecewa.

Untuk melengkapi semua kekonyolan ini, bagaikan menumpahkan cuka di atas luka, ramai-ramailah orang berlepas tangan dari Abu Janda. Dalam akun Facebook-nya, Yaqut Cholil Qoumas, Ketua Umum GP Ansor, menyatakan bahwa Abu Janda hadir dalam acara debat mewakili pribadi, bukan mewakili Banser, dan bahwa Abu Janda hanya mengikuti pendidikan kader yang paling dasar sebagai syarat keanggotaan di Banser. Akun Twitter @ridlwanjogja, yang dikenal sangat vokal dalam urusan politik sejak Pilpres 2014, seolah berteriak getir:

Gimana kalau abujanda, denisiregar dkk itu deklarasi saja mendukung capres selain Jokowi. Habis itu, ngetwit apa aja, monggo. Gimana?

Apa yang terjadi bukan hanya tragedi untuk Abu Janda seorang, melainkan tragedi yang terjadi pada umat dan bangsa ini. Manusia memang pelupa, namun kita hidup bersama untuk saling mengingatkan, sehingga yang lupa bisa diingatkan oleh mereka yang tidak lupa. Sayangnya, apa yang terjadi pada masyarakat Indonesia nyaris bisa disebut sebagai ‘lupa berjamaah’.

Umat Muslim di negeri ini telah lupa dengan kebesarannya sendiri, sehingga kita meributkan masalah-masalah yang ‘telah selesai’. Apa yang sudah diterima sebagai sebuah khilaf di kalangan ulama hendak dipaksakan untuk sepakat, sedangkan yang sudah jelas-jelas ijma’ malah hendak didiskusikan ulang. Umat disibukkan dengan perdebatan yang itu-itu lagi, mulai dari status doa Qunut dalam Salat Subuh hingga urusan panjang celana. Sementara itu, kalangan intelektual palsu sibuk mencari-cari dalil untuk membenarkan homoseksualitas. Sementara itu, para oknum di perguruan-perguruan tinggi Islam seolah berusaha mencari sensasi dengan mengkaji hal-hal yang merusak; di Surabaya mereka berseru, “Tuhan membusuk!”, di Medan mereka menggelar seminar “Jejak Pelacur Arab dalam Seni Baca Al-Qur’an”, dan di Semarang sejak jauh-jauh hari mereka telah menerbitkan Jurnal Justisia yang salah satu edisinya diberi judul sangat fantastis: “Indahnya Kawin Sesama Jenis”! Umat yang kebingungan kini menjadi korban di tengah-tengah pertengkaran sengit yang memperdebatkan apakah bumi itu bulat atau datar.

Bangsa ini sudah lupa dengan kegemilangan para ulama masa lampau. Tak banyak lagi yang mengenang Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Imam Masjidil Haram asal Bukittinggi, atau mempelajari secara serius warisan ilmu dari Syaikh Nawawi al-Bantani, yang dijuluki Sayyidul ’Ulama (ulama terbesar) di Hijaz pada masanya. Banyak yang lupa bahwa KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari itu bersahabat lekat, bahkan berguru kepada tokoh-tokoh yang sama di dalam dan luar negeri. Banyak yang hanya kenal nama Buya Hamka, tapi asing dari pemikiran beliau, tak pernah membaca Tafsir Al-Azhar, apalagi mengetahui sosok ayahnya yang juga ulama besar, yaitu Syaikh Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul.

Kita telah berjarak terlalu jauh dari sejarah kita sendiri, sehingga tak lagi mengenal dengan baik para ulama besar dan sumbangan pemikirannya. Mereka telah membahas hal-hal besar, namun kini kita sibuk dengan yang kecil-kecil. Terlalu lama kita tenggelam dalam perdebatan dan (sengaja atau tidak) memupuk kesombongan dan ashabiyah (fanatisme) dalam jiwa, sehingga kita lupa untuk belajar, apalagi saling belajar. Karena gengsi, kita pura-pura tidak tahu bahwa saudara kita memiliki kelebihan, sehingga kita sibuk menjelek-jelekkannya, dan tidak mengambil ilmu sedikit pun darinya.

Sudah terlalu lama kita melupakan para ulama besar karena menyibukkan diri dengan hal-hal yang tak penting. Dan kini, kita disibukkan oleh yang sekelas Abu Janda. Belumkah tiba waktunya untuk bangkit dari tempat berpijak kita yang teramat rendah ini?

wassalaamu’alaikum wr. wb.

Sumber: http://malakmalakmal.com/tragedi-abu-janda-tragedi-kita-semua/


Jadilah peran dalam suatu perjuangan umat dan jangan hanya jadi penonton, sungguh rugi diakhirnya nanti.